Minggu, 29 April 2012

ZUL ARHAM DAN PENYELESAIAN HAKNYA


BAB I
PENDAHULUAN

Hukum kewarisan Islam menurut pandangan Islam termasuk salah satu bagian dari fikih atau ketentuan yang harus di patuhi Umat Islam dan dijadikan pedoman dalam menyelesaikan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal. Aturan tentang warisan ini di tetapkan Allah melalui firman-Nya yang terdapat dalam Al-Qur’an serta dalam hadis Nabi.
Dalam hukum kewarisan Islam ini terdapat banyak ahli waris yang ikut serta dalam menyelesaikan haknya. Diantaranya ahli waris Zul Arham yang berarti orang yang mempunyai Kerabat secara mutlak , baik dia shahih furudh atau ashabah atau bukan. Zul Arham ini merupakan suatu hubungan darah (senasab), sehingga dalam Zul Arham ini orang yang menjadi mewarisi harta yaitu orang yang mempunyai hubungan darah dengan simati.




BAB II
PEMBAHASAN
ZUL ARHAM DAN PENYELESAIAN HAKNYA

A.   ZUL ARHAM
1.      Pengertian
Zul Arham berasal dari bahasa arab “Arham” bentuk jamak “Rahim” yang berarti rahim atau kandungan.[1] Tegasnya disebut hubungan darah secara syariat Zul Arham adalah hukum karabat yang lain dari pada Dzul Furudh dan ‘Ashabah yaitu anggota keluarga digaris ibu, baik laki-laki maupun perempuan yang ditentukan bagiannya dalam Al-Qur’an yaitu anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, anak perempuan kandung dan saudara perempuan sebapak.
Menurut bahasa Dzul Arham adalah orang yang mempunyai kerabat secara mutlak, baik dia Shahih Furudh atau Ashabah atau bukan. Sedangkan dalam pengertian istilah Dzul Arham adalah segala kerabat yang bukan Shahih Furudh dan bukan pula Ashabah[2]. Jadi, Zul Arham itu berarti orang yang mepunyai hubungan darah dengan si mati.
Dasar hukum yang menjelaskan bahwa Zul Arham berhak mewarisi yaitu dalam surat Al-Nisa’ Ayat 7 :

Artinya : ” Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya...”

Hal ini sesuai dengan surat Al-Anfal ayat 75.
  
Artinya : “orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat)[626] di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”[3]

2.      Perbedaan Pendapat Ulama Terhadap Zul Arham.
Berikut perbedaan pendapat ulama dalam memberikan pengertian tentang zul Arham ini, yaitu sebagai berikut :
a)    Pendapat / Mahzab Ahl Al-Qarabah
       Pendapat ini dikembangkan oleh ahli hukum islam mazhab syafiyah seperti al-Baqawy dan al-Mutawally (pada awalnya pendapat ini didasarkan kepada ijtihad Alibin Abi Thalib). Pendapat ini intinya mengemukakan bahwa diantara para ahli waris terdapat kelompok keutamaan yanitu kelompok yang satu lebih utama dari kelompok yang lainnya, mahzab ini mengelompokkannya sebagai berikut :
1)   Kelompok Banuwwah yaitu yang terdiri dari anak-anak, cucu dan seterusnya kebawah.
2)   Kelompok Ubuwwah yaitu terdiri dari kakek dari ibu, nenek dari kakek dan seterusnya ke atas.[4]
3)   Kelompok Ukhuwwah yaitu terdiri dari anak-anak saudara atau kemenakan.
4)   Kelompok Umumah yaitu terdiri dari paman, bibi dan anak keturunannya.
Menurut kelompok ini, selama ada kelompok yang terdekat. Maka kelompok yang lainnya tidak menerima warisan, dengan kata lain kelompok yang terdekat lebih utama dari kelompok yang lainnya.
b)                           Pendapat / Mahzab Ahl Al- Tanzil
Mahzab ini dikembangkan dengan Imam Maliki, Syafi’i dan Ahmad Ibn Hambali. Menurut pendapai ini untuk menentukan siapa yang lebih berhak diantara Zul Arham untuk memperoleh warisan dari sipewaris adalah dengan cara menempatkan mereka pada kedudukan ahli waris yang menghubungkan mereka kepada sipewaris, selanjutnya mereka diturunkan satu persatu.
Misalnya : cucu perempuan dari garis perempuan didudukan sebagai anak perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki didudukan sebagai sudara laki-laki, anak perempuan saudara perempuan didudukkan sebagai ayah, saudara perempuan ibu didudukan sebagai ibu dan seterusnya.[5]
c)                            Pendapat / Mazhab Ahl al-Rahim
Tokoh penting mazhab ini adalah hasan Ibn Zirah, menurut ungkapan Fathur Rahman pendapat / mazhab ini tidak berkembang, sebab pendapat ini tidak mudah di terima. Karena prinsip mazhab ini semua Keluarga yang statusnya Zul-arham mempunyai kedudukan yang sama tanpa melihat dari kelompok mana mereka berasal, dengan istilah lain seluruh Zul-arham disamarkan kedudukannya terhadap harta warisan tersebut.
Selain yang diatas ada pula perbedaan para ulama tentang apakah mereka dapat menerima warisan atau tidak, jika tidak kepada siapa harta warisan itu diserahkan, sementara tidak ada ahli waris yang akan mewarisinyayaitu sebagaia berikut :
1)   Imam Malik, Syafi’i, Zaid Ibn Zabit dan mayoritas ulama Amsar berpendapat bahwa ahli waris Zul-Arham tidak dapat menerima warisan.” Dari kalangan sahabat-sahabat tabi’i  berpendapat yang demikian adalah ibnu Abbas, Said Ibnu al-Musayyab, Sa’ad Ibn Zubair, Sofyan al-sauri, Al-Auza’i, dan ikuti oleh Ibnu Hazm, bahwa harta peninggalan simati diserahkan kebait Al-Mal.
2)   Abu Bakar, Umar Bin Khatab, Usman, Ali, Ibnu ‘Abbas dalam satu pendapatnya yang Mashur , Ibnu Mas’ud dan Mu’az Ibnu  Jabal  mengatakan bahwa “ ahli waris zul Arham dapat menerima warisan, apabila simati tidak mempunyai ahli waris ashabah dan al-furud.[6]
B.  PENYELESAIAN DALAM PEMBAGIAN HAKNYA
       Ahli waris yang termasuk zul Arham dikelompokkan oleh kalangan syafiyah kepada :
1.      Anak dari anak perempuan (cucu melalui anak perempuan).
2.      Anak dari saudara perempuan, baik kandung, seayah maupun seibu.
3.      Anak perempuan saudara laki-laki.
4.      Anak perempuan paman.
5.      Paman seibu.
6.      Anak paman seibu.
7.      Saudara laki-laki ibu.
8.      Saudara perempuan ibu.
9.      Saudara perempuan ayah.
10.  Anak saudara seibu.
11.  Bapak dari ibu.



Cara penyelesaian dalam pembagian harta warisan dikalangan ahli waris Zul-Arham ada 2 cara yang dikemukakan oleh ualama yaitu :
1.    Secara Penggantian
Ahli waris Zul Arham menerima hak kewarisan menurut yang diterima oleh ahli waris terdekat yang menghubungkannya kepada pewaris. Contoh ahli waris terdiri dari : ayah dari ibu, anak dari perempuan. Maka ayah dari ibu mendapat 1/6 menggantikan ibu dan anak dari anak perempuan mendapat ½ menggantikan anak perempuan.
2.    Secara Kedekatan
  Ahli waris Zul Arham menerima warisan berdasarkan kedekatannya kepada pewaris, artinya membagi harta warisan kepada ahli waris sebagaimana yang berlaku pada kewarisan ashabah. Alasannya yang dikemukakan oleh kelompok yang menganut cara ini adalah bahwa ahli waris Zul Arham ini pada akikatnya adalah ashabah. Ashabah yang hakiki di tempati oleh pihak laki-laki, sedangkan ashabah dalam bentuk ini adalah perempuan atau laki-laki melalui perempuan misalnya : ahli waris terdiri dari ayah dari ibu dan anak saudara ibu, maka harta warisan akan di warisi oleh kakek, karena kakek lebih dekat hubungannya dibandingkan dengan anak saudara ibu.
Hadis Nabi :


Artinya : Dari Amir Bian Muslim dari Thawas dari ‘Aisyah berkata : Rasul SAW bersabda : saudara laki-laki Ibu menjadi ahli waris bagi yang tidak ada ahli warisnya. (HR. At - Tarmizi)[7]
Undang-undang waris mesir juga mengemukakan cara pembagian warisan kepada ahli waris zawu al arham ini, sebagaimana yang terkuat dalam pasal 31 sampai 38, cara pewarisannya sebagai berikut :
·      Pasal 31
Jika tidak didapatkan seseorang asabah nasab dan tidak juga dari seorang zawu furud nasabiyah, maka harta peninggalan atau sisanya adalah untuk Zawu Al-Arham.
·      Pasal 32
Kelompok pertama dari zawul arham yang paling utama untuk mendapatkan warisan adalah yang paling dekat derajatnya kepada simayat. Jika mereka bersamaan derajatnya maka anak laki-laki dari ashabul al-furud itu lebih utama dari anak laki-laki zawu arham. Jika bersamaan derajadnya diantara mereka tidak terdapat anak laki-laki ashabul furud atau mereka semuanya sampai kepada shahibul fardh, maka mereka sama-sama memperoleh warisan.
·      Pasal 33
Kelompok kedua dari zawu al arham yang paling utama untuk mendapatkan harta warisan adalah yang paling dekat derajatnya kepada simayat. Jika mereka bersamaan derajatnya, maka di dahulukan orang yang sampai pada ash-habul furudh, jika mereka bersamaan derajatnya dan tidak diantara yang sampai pada ash-habul firudh atau untuk semua hanya sampai kepada ash-habul alfurudh. Maka apabila mereka sama dalam kekerabatannya, mereka sama banyak mendapatkan warisan. Apabila mereka beda dari segi kekerabatan , maka dua pertiga untuk kerabat ayah dan sepertiganya untuk kerabat ibu.[8]


·      Pasal 34
Kelompok ketiga dari Zawul Arham yang paling utama mendapatkan warisan adalah yang paling dekat derajatnya dengan simayat. Bila mereka bersamaan derajatnya, sedangkan diantara mereka terdapat anak laki-laki dari ahli waris ashabah. Maka lebih utama mendapatkan warisan dari pada anak laki-laki dzawul arham. Jika diantara mereka tidak terdapat anak laki-laki dari ahli waris ashabah maka didahulukan siapa yang paling kuat kekerabatnnya dengan simayat. Barang siapa ashal(leluhur yang menurunkan)nya seibu-seayah maka dia lebih utama dari pada yamg ashalnya se-ibu. Jika mereka bersamaan drajat dan kekuatan kekerabatannya maka mereka sama-sama berhak untuk mewarisi.
·      Pasal 35
Apabila yang ada hanya kelompok ayah, yaitu paman-paman amayat yang se-ibu dan bibi-bibinya, atau kelompok ibu yaitu paman-paman dan bibinya. Maka yang palaing didahulukan adalah yang paling kuat kekerabatannya. Maka oleh karena itu barang siapa yang seayah seibu tentu yang paling utama dari yang seayah saja. Barang siapa yang seayah maka dia lebih utama dari yang seibu. Jika mereka bersamaan derajatnya, maka ia sama-sama berhak untuk mewarisi.
·      Pasal 36
Apabila mereka anak laki-laki dari ahli waris ashabah atau anak laki-laki dari ahli waris Zawil Arham , jika keadaan mereka berbeda maka anak laki-laki ahli waris ashabah yang didahulukan.
·      Pasal 37
Tidak dibenarkan banyaknya segi kekerabatan bagi seoarang ahli waris dari Zauwul Arham, kecuali jika terdapat Iktilaf dalam segi itu.


BAB III
PENUTUP
 
A.   Kesimpulan
1.    Pengertian
·      Menurut bahasa Dzul Arham adalah orang yang mempunyai kerabat secara mutlak, baik dia Shahih Furudh atau Ashabah atau bukan.
·      Menurut istilah Dzul Arham adalah segala kerabat yang bukan Shahih Furudh dan bukan pula Ashabah. Jadi, Zul Arham itu berarti orang yang mepunyai hubungan darah dengan simati.
2.    Dasar hukum Zul Arham terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Nisa’ Ayat 7 dan surat Al-Anfal ayat 75.
3.    Penyelesaian dalam pembagian haknya.
·       Ahli waris yang termasuk zul Arham dikelompokkan oleh kalangan syafiyah kepada :
a.     Anak dari anak perempuan (cucu melalui anak perempuan).
b.    Anak dari saudara perempuan, baik kandung, seayah maupun seibu.
c.     Anak perempuan saudara laki-laki.
d.    Anak perempuan paman.
e.     Paman seibu.
f.     Anak paman seibu.
g.    Saudara laki-laki ibu.
h.    Saudara perempuan ibu.
i.      Saudara perempuan ayah.
j.      Anak saudara seibu.
k.    Bapak dari ibu.
4.    Cara penyelesaian dalam pembagian harta warisan dikalangan ahli waris Zul-Arham ada 2 cara yang dikemukakan oleh ualama yaitu :
·      Secara Kedekatan
·      Secara Penggantian

B.  Saran
Dari uraian makalah diatas kami dari pemakalah berharap agar pembaca khususnya kepada Dosen Pembimbing dapat mengerti dan memahami tentang makalah yang kami buat yaitu tentang Zul Arham. Besar harapan kami dari pemakalah agar pembaca bisa menyampaikan kritik dan sarannya, atas perhatian dari pembaca dan Dosen Pembimbing kami dari pemakalah mengucapkan terimakasih.




DAFTAR PUSTAKA
Syarifudin Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta : Kencana, 2004.

Tengku Muhammad Ashidiegy, Fiqih Mawaris Semarang : PT Pustaka Rizki Putera 1991.

Surwati, Fikih Mawaris 1 Padang : Haifa Press.

Suhrawardi, Hukum Waris Islam Lengkap & Praktis, Jakarta : Sinar Grafika.

Sayyid Sabig, Fiqih Sunah Jakarta : Pena Ilmu & Amal Jld 4.



[1] .Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam. (Jakarta : Kencana, 204) h. 149
[2].Tengku Muhammad Ashidiegy, Fiqih Mawaris (Semarang : PT Pustaka Rizki Putera 1991)
[3] Surwati. Fikih Mawaris 1 (Padang : Haifa Press) h. 65
[4] Suhrawardi, Hukum Waris Islam ( Lengkap & Praktis), (Jakarta : Sinar Grafika) h. 71

[5] Ibid, h 72
[6] Sayyid Sabig, Fiqih Sunah (Jakarta : Pena Ilmu & Amal) Jld 4. h 505
[7] Surwati, op cit. H 66-67
[8] Sayyid Sabiq, Op. Cit  h. 505-507

Tidak ada komentar:

Posting Komentar